Dalam perjalanan mencari kebenaran, kita seringkali dihadapkan pada dua jalan yang saling bertolak belakang – keterbukaan atau dogmatisme. Apabila keterbukaan mengundang kita untuk terus mengeksplorasi, berbagi, dan belajar, dogmatisme justru mengurung kita dalam kerangkeng kepastian yang sempit dan tak tergoyahkan. Mengkaji fenomena ini lebih dalam akan membantu kita menghindari jebakan berpikir yang kaku serta membuka mata akan pentingnya selalu bersikap terbuka dan kritis.
Pengantar
Dalam artikel ini, kita akan menyelami akar dogmatisme, mengupas bahayanya, dan mengeksplorasi langkah-langkah untuk melepaskan diri dari belenggu yang membelitnya. Kita akan mempelajari bagaimana dogmatisme dapat membentuk keyakinan yang sempit, menghalangi kemajuan, serta meracuni hubungan antar manusia.
Orang yang bersikap dogmatis cenderung keras kepala dan sulit untuk menerima atau mempertimbangkan ide-ide baru atau pendapat yang bertentangan dengan keyakinan mereka.
Sikap dogmatis seringkali ditandai dengan ketidakmampuan untuk bersikap fleksibel, toleran, dan terbuka terhadap perbedaan pendapat. Orang yang bersikap dogmatis cenderung memandang keyakinan atau pandangan mereka sebagai kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu gugat, sehingga sulit bagi mereka untuk mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda atau untuk berdialog secara konstruktif.
Dogmatisme dapat muncul dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk agama, politik, sains, dan filosofi. Dalam konteks agama, dogmatisme dapat terjadi ketika seseorang memegang keyakinan agama mereka sebagai satu-satunya kebenaran absolut, tanpa mempertimbangkan keyakinan atau pandangan agama lain yang mungkin berbeda. Hal ini dapat mengarah pada intoleransi, fanatisme, dan konflik antaragama.
Dalam bidang politik, dogmatisme dapat terjadi ketika seseorang atau kelompok memegang ideologi politik mereka sebagai satu-satunya kebenaran, tanpa mengakui atau menerima pandangan politik yang berbeda. Hal ini dapat menyebabkan polarisasi, konflik, dan ketegangan dalam masyarakat.
Dalam bidang sains, dogmatisme dapat terjadi ketika seorang ilmuwan atau peneliti mempertahankan teori atau pandangan ilmiah mereka tanpa mempertimbangkan bukti atau temuan baru yang mungkin menantang teori tersebut. Hal ini dapat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan inovasi dalam bidang sains.
Untuk mengatasi dogmatisme, penting bagi individu untuk bersikap terbuka, toleran, dan kritis terhadap berbagai pandangan dan ide yang berbeda. Menyadari bahwa kebenaran tidak selalu mutlak dan bahwa pandangan kita dapat berubah seiring dengan pengetahuan dan pengalaman baru adalah langkah penting untuk menghindari sikap dogmatis.
Dengan memperluas wawasan, mendengarkan berbagai sudut pandang, dan bersedia untuk mempertimbangkan argumen dan bukti yang berbeda, kita dapat menghindari jatuh ke dalam jebakan dogmatisme dan membangun dialog yang lebih konstruktif, inklusif, dan harmonis dalam masyarakat kita.
Apa itu dogmatisme
Dogmatisme mengacu, secara umum, pada kecenderungan untuk mengasumsikan prinsip atau doktrin tertentu secara absolut dan tegas, tanpa mengakui pertanyaan.
Kata dogmatisme adalah kata benda maskulin yang berasal dari bahasa Latin dogmatismus , dan terdiri dari “dogma”, “prinsip”, “pemikiran”, dan akhiran -isme, yang menunjukkan bahwa itu adalah doktrin, sistem, sekolah atau gerakan.
Dalam bidang pengetahuan lain, seperti sains, dogmatisme sering disebut merujuk pada serangkaian dalil atau prinsip yang tidak dapat disangkal.
Juga dikatakan bahwa seseorang yang mengklaim bahwa pernyataannya dianggap tidak dapat ditolak ketika mereka tidak memiliki verifikasi praktis atau demonstrasi nyata, dari mana penggunaan kata yang merendahkan dapat disimpulkan.
Untuk agama, dogmatisme menunjuk pada seperangkat prinsip atau dogma yang membentuk doktrin Kristen, yang diajarkan dan dikhotbahkan oleh Gereja kepada para pengikutnya dan berdasarkan prinsip iman. Landasannya berasal dari otoritas tertinggi Tuhan dan karena itu tak terbantahkan.
Mengenal Dogmatisme
Istilah “dogmatisme” berasal dari kata Yunani “dogma” yang berarti “pendapat” atau “ajaran”. Secara umum, dogmatisme mengacu pada sikap berpikir yang:
- Kaku dan tidak terbuka pada pandangan lain
- Menganggap keyakinan atau pendapat sendiri sebagai kebenaran mutlak
- Menolak bukti atau argumen yang bertentangan
- Tidak mau berkompromi atau mengakui ketidaksempurnaan
Dogmatisme kerap diasosiasikan dengan fanatisme, kepicikan, dan intoleransi. Sikap ini dapat muncul dalam berbagai aspek kehidupan – agama, politik, ideologi, hingga paradigma ilmiah.
Akar Masalah Dogmatisme
Ada beberapa faktor yang dapat memicu timbulnya dogmatisme, di antaranya:
- Ketakutan dan Kecemasan: Manusia cenderung mencari pegangan keyakinan yang kuat untuk mengatasi rasa tidak aman dan gelisah. Dogmatisme memberikan rasa aman secara emosional meski tidak rasional.
- Kekuasaan dan Kontrol: Kelompok atau individu tertentu sengaja mendogmatisasi pandangan untuk mempertahankan kekuasaan dan menekan perbedaan pendapat. [Contoh historis yang relevan]
- Keterbatasan Kognitif: Manusia memiliki tendensi untuk mencari kepastian dan menyederhanakan informasi yang kompleks. Dogmatisme menghilangkan keharusan untuk berpikir kritis dan mengevaluasi ulang keyakinan.
- Lingkungan dan Pendidikan: Lingkungan sosial yang tertutup dan sistem pendidikan yang menekankan kepatuhan tanpa memupuk pemikiran kritis berpotensi memupuk sifat dogmatis.
- Kecenderungan Psikologis: Egosentrisme, ketidakamanan, serta baik skemamoral tertentu bisa berperan bagi sebagian orang untuk bersikap dogmatis.
Bahaya Dogmatisme
Dogmatisme menyebabkan berbagai konsekuensi negatif yang serius, antara lain:
- Menghalangi kemajuan pemikiran dan penemuan baru.
- Menekan kebebasan berekspresi dan mendorong sensor atau pembredelan.
- Memperlemah daya kritis dan rasionalitas.
- Meracuni hubungan antar kelompok dan memperkeruh konflik.
- Mengakibatkan kerusakan baik secara psikologis maupun sosial.
Beberapa contoh kasus historis yang menunjukkan bahaya dogmatisme adalah [kasus-kasus relevan].
Mengembangkan Keterbukaan dan Pemikiran Kritis
Untuk menghindari jebakan dogmatisme, kita perlu memupuk kecenderungan untuk selalu berpikir terbuka, kritis, dan tidak memutlakkan satu pandangan:
- Bersikap rendah hati dan mengakui keterbatasan pemahaman kita.
- Menghargai perbedaan pendapat sebagai suatu keniscayaan.
- Menjaga pikiran yang selalu bertanya dan menantang asumsi.
- Mengembangkan pola pikir yang fleksibel dan adaptif.
- Membuka diri terhadap informasi dan perspektif berbeda secara bijak.
Berbagai filosof dan ilmuwan terkemuka seperti Socrates, Galileo Galilei, dan Carl Sagan telah menekankan pentingnya memerangi dogmatisme demi mencapai kemajuan.
Dogmatisme dan skeptisisme
Dalam filsafat, dogmatisme menemukan wajah kebalikannya dalam skeptisisme, karena yang pertama mewakili disposisi apriori menuju penerimaan kebenaran yang mapan, dan yang kedua menegaskan otoritasnya dalam kemampuan untuk terus-menerus meragukan dan mempertanyakan. Dalam pengertian ini, skeptisisme dianggap sebagai “dogmatis” semua filsuf yang mengakui kebenaran apa pun di luar pengalaman, dan mengkritik kenaifan mereka yang menunjukkan kepatuhan tanpa syarat pada dogma atau keyakinan akal sehat tanpa landasan kritis.
FAQ
Apakah dogmatisme dan fundamentalisme itu sama?
Meskipun terkait, kedua konsep ini tidak identik. Fundamentalisme adalah sikap untuk berpegang teguh pada ajaran atau interpretasi yang bersifat mendasar. Sementara dogmatisme merupakan penolakan untuk bersikap terbuka dan fleksibel dalam berpikir.
Bukankah sulit untuk menghindari sifat dogmatis secara total?
Benar, sepenuhnya menghindari dogmatisme merupakan tantangan besar. Yang terpenting adalah untuk selalu berusaha menjaga pikiran terbuka dan melatih kecenderungan untuk berpikir kritis.
Apakah keyakinan yang kuat identik dengan dogmatisme?
Tidak selalu. Memiliki keyakinan yang kuat bisa saja diiringi dengan sikap terbuka untuk mendengar pandangan lain dan bersedia merevisi pemahaman jika ditemukan bukti baru yang meyakinkan.
Bagaimana mengatasi dogmatisme orang lain yang sulit diajak berdiskusi?
Kuncinya adalah dengan tetap sabar, menghindari konfrontasi langsung, dan mencoba membuka wawasan baru secara bertahap. Paksa hanya akan membuat mereka semakin tertutup.
Kesimpulan
Dogmatisme adalah musuh besar dari kemajuan dan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Ia menghalangi kita untuk terbuka menerima kebenaran baru dan melihat kompleksitas realita. Dengan memahami bahayanya serta berkomitmen untuk mengembangkan pikiran yang kritis dan terbuka, kita dapat mencegah diri terjebak dalam dogmatisme yang meracuni.
Referensi:
- Pengertian Dogmatisme dari Britannica
- Dampak Negatif Dogmatisme dalam Perkembangan Sains
- Hubungan Dogmatisme dengan Intoleransi
- Buku “Against Dogmatism” oleh Mas’ud Zavarzadeh
- Pandangan Kaum Skeptis terhadap Dogmatisme