Eksistensialisme adalah sebuah aliran filsafat yang fokus pada pengalaman individu dalam menghadapi kehidupan, kebebasan, dan makna eksistensi. Filsafat ini sering kali berangkat dari pandangan bahwa kehidupan manusia tidak memiliki makna yang melekat, dan oleh karena itu, manusia bertanggung jawab untuk menciptakan makna dan tujuan hidupnya sendiri. Eksistensialisme menekankan kebebasan individu, kecemasan yang muncul dari pilihan-pilihan hidup, serta perasaan keterasingan dalam menghadapi absurditas dunia.
Eksistensialisme berkembang pesat pada abad ke-19 dan ke-20, dengan tokoh-tokoh utama seperti Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, dan Søren Kierkegaard. Meskipun pemikiran mereka beragam, eksistensialis umumnya sepakat bahwa eksistensi manusia adalah sesuatu yang subjektif dan tidak dapat dipahami sepenuhnya melalui hukum-hukum atau prinsip-prinsip objektif.
Asal Usul Eksistensialisme
Eksistensialisme memiliki akar dalam filsafat Eropa abad ke-19. Søren Kierkegaard, seorang filsuf Denmark, sering dianggap sebagai bapak eksistensialisme. Kierkegaard menekankan pentingnya pengalaman pribadi manusia, terutama dalam konteks agama, dan menolak sistem-sistem filsafat yang mencoba menjelaskan segala sesuatu dengan cara yang rasional dan objektif.
Pada abad ke-20, eksistensialisme mencapai puncak popularitasnya melalui karya-karya Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Sartre, dalam karyanya Being and Nothingness (1943), mengembangkan gagasan bahwa manusia “terkutuk untuk bebas”—artinya, manusia ditakdirkan untuk membuat pilihan-pilihan hidup tanpa panduan pasti, dan dengan demikian, bertanggung jawab atas setiap aspek kehidupannya.
Konsep Utama Eksistensialisme
Terdapat beberapa konsep utama dalam eksistensialisme yang menjadi landasan aliran ini. Berikut adalah beberapa di antaranya:
1. Eksistensi Mendahului Esensi
Salah satu gagasan paling terkenal dari Sartre adalah bahwa eksistensi mendahului esensi. Artinya, manusia pertama-tama ada (eksis), dan baru kemudian menentukan siapa dirinya melalui tindakan dan pilihan. Ini berbeda dengan pandangan tradisional yang mengatakan bahwa esensi (hakikat atau tujuan) manusia sudah ditentukan sebelum ia lahir, misalnya oleh Tuhan atau oleh hukum alam.
Menurut Sartre, manusia tidak memiliki “esensi” yang ditentukan sebelumnya. Kita tidak dilahirkan dengan tujuan tertentu; kita menciptakan tujuan kita sendiri melalui keputusan yang kita buat sepanjang hidup. Dengan kata lain, kita tidak memiliki takdir yang sudah ditetapkan, dan kita bertanggung jawab sepenuhnya atas siapa kita dan apa yang kita lakukan.
Contoh:
Bayangkan seseorang yang dilahirkan dalam keluarga dokter, dan diharapkan oleh lingkungannya untuk mengikuti jejak orang tuanya. Namun, dalam perspektif eksistensialisme, orang tersebut bebas untuk memilih jalannya sendiri. Ia mungkin memilih menjadi seniman, memutuskan bahwa kebebasan kreatif lebih penting baginya daripada mengikuti tradisi keluarganya. Dalam konteks ini, ia menciptakan “esensinya” sendiri melalui pilihannya.
2. Kebebasan dan Tanggung Jawab
Eksistensialisme menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas, tetapi kebebasan ini datang dengan tanggung jawab yang besar. Karena kita bebas menentukan pilihan hidup kita, kita juga harus bertanggung jawab atas konsekuensi dari pilihan-pilihan tersebut. Tidak ada otoritas eksternal, seperti Tuhan atau masyarakat, yang bisa mengarahkan atau membebaskan kita dari tanggung jawab atas hidup kita.
Bagi Sartre, kebebasan ini bisa menjadi sumber kecemasan atau “angst”, karena kita menyadari bahwa tidak ada jaminan atau panduan pasti dalam membuat keputusan. Setiap keputusan yang kita buat adalah cerminan dari nilai-nilai yang kita pilih sendiri, dan kita tidak bisa menyalahkan orang lain atau kekuatan luar atas pilihan kita.
Contoh:
Seorang mahasiswa yang berada di persimpangan jalan karier mungkin merasa cemas ketika harus memilih antara bekerja di perusahaan besar dengan gaji tinggi atau mengejar karier yang lebih idealis di bidang nirlaba yang sesuai dengan nilai-nilainya. Eksistensialisme mengajarkan bahwa pilihan ini sepenuhnya berada di tangan mahasiswa tersebut. Tidak ada jawaban yang benar atau salah secara objektif, dan ia harus menerima tanggung jawab penuh atas keputusan yang diambil, beserta konsekuensinya.
3. Absurditas
Salah satu konsep penting dalam eksistensialisme adalah absurditas. Konsep ini terutama dikembangkan oleh Albert Camus, seorang penulis dan filsuf eksistensialis. Absurditas merujuk pada ketidaksesuaian antara keinginan manusia untuk menemukan makna dalam hidup dan kenyataan bahwa alam semesta tampaknya tidak menyediakan makna yang jelas atau objektif.
Camus menggambarkan absurditas ini melalui mitos Sisyphus dalam esainya The Myth of Sisyphus. Sisyphus adalah tokoh mitologi Yunani yang dihukum untuk mendorong batu besar ke puncak gunung, hanya untuk melihat batu tersebut jatuh kembali ke dasar setiap kali hampir mencapai puncak. Camus menganggap hidup manusia mirip dengan nasib Sisyphus—kita terus mencari makna dalam dunia yang pada dasarnya tidak memberikan makna apa pun.
Namun, bagi Camus, absurditas ini tidak harus mengarah pada keputusasaan. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa manusia dapat merangkul absurditas dan tetap hidup dengan keberanian, meskipun dunia mungkin tidak memiliki makna yang inheren.
Contoh:
Bayangkan seseorang yang bekerja keras sepanjang hidupnya untuk mencapai kesuksesan finansial, namun setelah mencapainya, ia merasa kosong dan tidak menemukan kebahagiaan yang diharapkan. Dalam konteks absurditas, orang ini mungkin menyadari bahwa pencarian makna di dunia luar (misalnya, melalui harta atau status) tidak akan pernah benar-benar memuaskan. Alih-alih menyerah pada keputusasaan, ia bisa memilih untuk menerima absurditas tersebut dan fokus pada bagaimana ia ingin menjalani hidupnya sendiri, tanpa berharap bahwa dunia akan memberikan makna yang pasti.
4. Keterasingan
Eksistensialisme juga sering kali menekankan keterasingan atau alienasi sebagai bagian dari pengalaman manusia. Keterasingan di sini dapat berarti keterasingan dari diri sendiri, dari orang lain, atau dari dunia tempat kita hidup. Karena manusia sadar akan kebebasannya dan bertanggung jawab penuh atas pilihannya, ia sering merasa terasing dari dunia yang tampaknya tidak memiliki tujuan atau makna yang tetap.
Selain itu, keterasingan juga bisa muncul dari kesadaran bahwa tidak ada otoritas eksternal yang bisa memberi kita makna atau tujuan hidup yang pasti. Kita harus menciptakan makna kita sendiri, dan ini bisa menyebabkan perasaan kesepian atau keterpisahan dari orang lain yang mungkin tidak berbagi pandangan atau nilai yang sama.
Contoh:
Seorang individu yang pindah ke negara asing mungkin merasa terasing dari budaya dan masyarakat baru yang sangat berbeda dari apa yang ia kenal. Dalam perspektif eksistensialis, meskipun orang tersebut mungkin merasa terasing, ia tetap memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana ia merespons keterasingan ini. Ia bisa memilih untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya, atau ia bisa memilih untuk tetap mempertahankan identitasnya dengan cara yang berbeda dari mayoritas.
5. Kecemasan (Angst)
Kecemasan atau angst adalah perasaan ketidakpastian yang dialami manusia ketika dihadapkan pada kebebasan dan tanggung jawab yang besar. Bagi eksistensialis seperti Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre, kecemasan muncul karena kita menyadari bahwa tidak ada pegangan atau pedoman pasti untuk hidup. Kita selalu berada dalam situasi di mana kita harus membuat pilihan yang sangat penting, dan tidak ada jaminan bahwa pilihan kita akan benar.
Namun, kecemasan ini dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang bebas. Dalam eksistensialisme, kecemasan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan harus dihadapi sebagai konsekuensi alami dari kebebasan manusia.
Contoh:
Seorang mahasiswa yang baru lulus mungkin merasa cemas ketika harus memilih jalur karier atau hidup setelah lulus. Tidak ada jaminan bahwa pilihan yang ia buat—misalnya, antara bekerja di perusahaan besar atau memulai bisnis sendiri—akan membawa kebahagiaan atau kesuksesan. Namun, daripada lari dari kecemasan ini, mahasiswa tersebut harus menerima bahwa tidak ada jawaban yang pasti dan bahwa pilihan tersebut adalah bagian dari kebebasan yang dimiliki sebagai manusia.
Contoh Eksistensialisme dalam Kehidupan Sehari-Hari
Untuk lebih memahami bagaimana eksistensialisme diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, berikut adalah beberapa contoh konkret:
a. Pilihan Karier
Seseorang yang berada di persimpangan karier, seperti memilih antara pekerjaan yang aman namun kurang memuaskan atau mengejar karier impian yang penuh risiko, menghadapi dilema eksistensial. Menurut eksistensialisme, tidak ada jawaban yang benar secara objektif. Orang tersebut harus membuat pilihan berdasarkan nilai-nilai dan tujuan hidup yang ia pilih sendiri, dan harus menerima tanggung jawab atas konsekuensi dari pilihan tersebut.
b. Hubungan Pribadi
Dalam hubungan pribadi, seseorang mungkin merasa terjebak dalam hubungan yang tidak sehat atau tidak memuaskan, tetapi merasa terpaksa tetap bertahan karena tekanan sosial atau harapan keluarga. Eksistensialisme mengajarkan bahwa orang tersebut bebas untuk menentukan apakah ia ingin tetap dalam hubungan tersebut atau mencari jalan lain. Kebebasan ini datang dengan kecemasan, karena setiap keputusan memiliki konsekuensinya sendiri, tetapi pada akhirnya, orang tersebut bertanggung jawab atas pilihannya.
c. Menghadapi Kematian
Eksistensialisme juga sering membahas kematian sebagai aspek penting dari eksistensi manusia. Bagi para eksistensialis, kesadaran akan kematian dapat memberikan dorongan untuk menjalani hidup dengan lebih autentik. Karena kehidupan terbatas, manusia didorong untuk membuat pilihan yang bermakna dan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang benar-benar mereka yakini.
Misalnya, seorang individu yang menyadari bahwa hidupnya terbatas mungkin lebih termotivasi untuk mengejar mimpi dan tujuan yang benar-benar penting baginya, daripada mengikuti harapan orang lain atau masyarakat.
Kesimpulan
Eksistensialisme adalah filsafat yang menekankan kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna dalam hidup yang tampaknya tidak memiliki makna bawaan. Aliran ini mengajarkan bahwa kita adalah makhluk yang bebas untuk membuat pilihan, tetapi kebebasan ini membawa konsekuensi berupa kecemasan, keterasingan, dan tanggung jawab atas hidup kita sendiri. Meskipun dunia mungkin tampak absurd dan penuh ketidakpastian, eksistensialisme mendorong kita untuk tetap menjalani hidup dengan cara yang autentik dan bermakna sesuai dengan nilai-nilai yang kita pilih sendiri.