Skeptisisme adalah sebuah pendekatan filosofis yang meragukan atau mempertanyakan keabsahan klaim-klaim pengetahuan yang ada. Dalam terminologi yang lebih luas, skeptisisme adalah sikap yang mengajukan keraguan terhadap asumsi, fakta, atau kebenaran yang diterima oleh banyak orang. Skeptisisme dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti filsafat, sains, agama, dan kehidupan sehari-hari.
Secara historis, skeptisisme adalah cabang penting dalam filsafat yang telah dikembangkan sejak zaman Yunani Kuno. Para filsuf skeptis berpendapat bahwa manusia tidak dapat memiliki pengetahuan yang pasti tentang dunia, atau setidaknya harus sangat berhati-hati dalam menerima klaim-klaim kebenaran tanpa bukti yang cukup.
Asal Usul Skeptisisme
Skeptisisme memiliki akar yang sangat dalam dalam tradisi filsafat Barat, terutama di dunia Yunani Kuno. Filsafat skeptis pertama kali dirumuskan oleh para filsuf seperti Pyrrho dari Elis (360–270 SM), yang dianggap sebagai pendiri skeptisisme Pyrrhonis. Pyrrho mengajarkan bahwa karena kita tidak dapat mengetahui kebenaran dengan pasti, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menangguhkan penilaian dan hidup dalam ketenangan batin (ataraxia).
Skeptisisme terus berkembang sepanjang zaman, dengan tokoh-tokoh penting seperti Sextus Empiricus yang menulis banyak karya klasik skeptis. Pada masa modern, skeptisisme juga dipelajari dan diadopsi oleh para filsuf besar seperti René Descartes, yang menggunakan metode skeptis untuk meragukan segala sesuatu sebagai langkah awal dalam menemukan dasar pengetahuan yang tak terbantahkan.
Jenis-Jenis Skeptisisme
Skeptisisme dapat dibagi menjadi beberapa jenis atau kategori berdasarkan bidang penerapannya:
1. Skeptisisme Epistemologis
Skeptisisme epistemologis adalah cabang skeptisisme yang berfokus pada pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan: Apa yang dapat kita ketahui? Apakah kita benar-benar dapat mengetahui sesuatu dengan pasti? Skeptisisme ini mengajukan keraguan tentang kemampuan manusia untuk mencapai pengetahuan yang pasti tentang dunia.
Contoh klasik dari skeptisisme epistemologis adalah René Descartes, yang dalam karyanya Meditations on First Philosophy, meragukan segala sesuatu yang bisa diragukan—termasuk keberadaan dunia luar dan bahkan tubuhnya sendiri—untuk menemukan dasar pengetahuan yang tak bisa diragukan. Dia akhirnya menemukan bahwa satu hal yang tidak dapat diragukan adalah keberadaan dirinya sebagai subjek yang berpikir, yang dirumuskan dalam ungkapan terkenal “Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada).
2. Skeptisisme Ilmiah
Skeptisisme ilmiah adalah bentuk skeptisisme yang diterapkan pada klaim-klaim ilmiah atau fenomena yang belum terbuktikan. Skeptisisme ini tidak berarti menolak sains, tetapi justru menggunakan metode ilmiah untuk memastikan bahwa klaim-klaim yang dibuat memiliki dasar bukti yang valid dan kuat. Skeptisisme ilmiah mendorong pengujian yang ketat terhadap hipotesis dan penolakan terhadap klaim yang tidak didukung oleh bukti empiris.
Sebagai contoh, skeptisisme ilmiah akan memandang klaim tentang pseudoscience (ilmu semu), seperti astrologi atau pengobatan alternatif yang tidak terbukti, dengan sikap kritis dan menuntut adanya bukti yang dapat diobservasi dan diuji secara objektif sebelum menganggapnya benar.
3. Skeptisisme Filosofis
Skeptisisme filosofis meragukan kemampuan manusia untuk mengetahui kebenaran metafisik yang mendalam, seperti keberadaan Tuhan, realitas dunia luar, atau konsep-konsep seperti waktu dan ruang. Dalam tradisi ini, pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas sering kali dianggap tidak memiliki jawaban yang pasti.
Contoh dari skeptisisme filosofis adalah David Hume, seorang filsuf Skotlandia, yang meragukan konsep sebab-akibat. Menurut Hume, kita tidak dapat mengetahui sebab-akibat secara pasti, karena semua yang kita amati hanyalah kejadian-kejadian yang terjadi secara berurutan dan berulang kali. Hume berpendapat bahwa kita tidak memiliki dasar untuk menyimpulkan bahwa suatu kejadian pasti akan menyebabkan kejadian lain di masa depan, meskipun kita telah melihatnya terjadi berkali-kali di masa lalu.
4. Skeptisisme Agama
Skeptisisme agama adalah keraguan atau penolakan terhadap klaim-klaim agama, seperti keberadaan Tuhan, mukjizat, atau kehidupan setelah mati. Para skeptis agama sering meminta bukti yang lebih kuat untuk mendukung klaim-klaim supranatural yang dibuat oleh berbagai agama.
Sebagai contoh, Bertrand Russell, seorang filsuf dan skeptis terkenal dari abad ke-20, berargumen bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan atau dipastikan, dan oleh karena itu, sikap yang paling rasional adalah agnostisisme atau ateisme. Russell juga mengajukan “Teapot Hypothesis”, suatu analogi yang mengatakan bahwa klaim keberadaan Tuhan sama sulitnya untuk dibuktikan atau disangkal seperti klaim bahwa ada teko kecil yang mengorbit di antara Bumi dan Mars.
Konsep Utama dalam Skeptisisme
Berikut adalah beberapa konsep kunci yang sering dihubungkan dengan skeptisisme:
1. Penangguhan Penilaian (Epoché)
Salah satu prinsip utama dalam skeptisisme Pyrrhonis adalah penangguhan penilaian atau epoché. Menurut Pyrrhonis, karena kita tidak dapat mengetahui kebenaran dengan pasti, sebaiknya kita menangguhkan penilaian tentang segala sesuatu. Ini tidak berarti bahwa kita menolak kebenaran, melainkan sikap untuk tidak mengambil kesimpulan pasti tentang hal-hal yang tidak kita ketahui dengan jelas.
Sebagai contoh, dalam menghadapi suatu klaim seperti “kehidupan setelah mati itu ada,” seorang Pyrrhonis tidak akan langsung menerima atau menolak klaim tersebut. Sebaliknya, mereka akan menangguhkan penilaian sampai ada bukti yang jelas dan meyakinkan.
2. Keraguan Metodis
Keraguan metodis adalah pendekatan skeptis yang digunakan untuk meragukan segala sesuatu secara sistematis sebagai langkah awal untuk menemukan pengetahuan yang pasti. Metode ini terkenal digunakan oleh René Descartes, yang mengajukan keraguan terhadap segala sesuatu yang mungkin diragukan, termasuk persepsi indrawi dan bahkan pikiran sendiri, untuk menemukan dasar pengetahuan yang tak tergoyahkan.
Contohnya, Descartes meragukan keabsahan semua informasi yang diberikan oleh indranya, karena indra terkadang bisa menipu—misalnya, kita bisa melihat fatamorgana atau mengalami mimpi yang terasa sangat nyata. Descartes kemudian menemukan bahwa meskipun segala sesuatu bisa diragukan, kenyataan bahwa dia meragukan menunjukkan bahwa setidaknya dirinya sebagai subjek yang berpikir itu ada.
3. Fallibilisme
Fallibilisme adalah pandangan yang berpendapat bahwa semua klaim pengetahuan bersifat sementara dan bisa saja salah. Skeptisisme fallibilis tidak menolak kemungkinan bahwa kita bisa mengetahui sesuatu, tetapi berpendapat bahwa semua pengetahuan yang kita miliki selalu terbuka untuk direvisi di masa depan jika ada bukti baru yang muncul.
Sebagai contoh, dalam ilmu pengetahuan, teori-teori ilmiah seperti teori gravitasi atau evolusi dianggap benar sejauh ini, tetapi para ilmuwan fallibilis tetap terbuka terhadap kemungkinan bahwa di masa depan, teori-teori ini bisa saja diperbaiki atau diganti dengan teori yang lebih baik berdasarkan bukti baru.
4. Relativisme Pengetahuan
Beberapa skeptis berpendapat bahwa pengetahuan manusia bersifat relatif dan tergantung pada perspektif atau konteks tertentu. Pandangan ini sering disebut sebagai relativisme, yang berpendapat bahwa tidak ada kebenaran mutlak yang berlaku untuk semua orang di segala waktu.
Sebagai contoh, seorang skeptis relativis mungkin berpendapat bahwa apa yang dianggap “benar” dalam satu budaya atau masyarakat belum tentu dianggap benar dalam budaya lain. Hal ini sering diterapkan dalam diskusi tentang etika dan moralitas, di mana skeptis mungkin meragukan adanya kebenaran moral universal.
Contoh Skeptisisme dalam Kehidupan Sehari-Hari
Untuk lebih memahami bagaimana skeptisisme diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, mari kita lihat beberapa contoh konkret:
a. Skeptisisme terhadap Berita Hoaks
Dalam era digital, skeptisisme menjadi sangat penting dalam menghadapi banjir informasi yang kita terima setiap hari, terutama melalui media sosial. Seorang skeptis mungkin meragukan keabsahan berita atau informasi yang viral dan akan memverifikasinya dengan sumber-sumber yang dapat dipercaya sebelum mempercayainya.
Misalnya, ketika seseorang membaca berita bahwa sebuah selebritas terkenal telah meninggal, seorang skeptis tidak akan langsung mempercayai berita tersebut. Mereka mungkin akan mencari konfirmasi dari beberapa sumber berita yang kredibel atau situs resmi sebelum menyebarkannya.
b. Skeptisisme terhadap Pengobatan Alternatif
Skeptisisme ilmiah sering diterapkan dalam pengobatan, terutama ketika berhadapan dengan klaim pengobatan alternatif yang belum terbukti secara ilmiah. Seorang skeptis ilmiah mungkin meragukan klaim bahwa sebuah suplemen herbal dapat menyembuhkan penyakit serius tanpa adanya bukti klinis yang mendukung.
Sebagai contoh, jika seseorang mengklaim bahwa minyak tertentu dapat menyembuhkan kanker, seorang skeptis ilmiah akan meminta bukti yang jelas dari uji klinis terkontrol sebelum menerima klaim tersebut. Mereka mungkin juga akan merujuk pada dokter atau ilmuwan yang memiliki keahlian di bidang tersebut untuk mendapatkan pandangan yang lebih terinformasi.
c. Skeptisisme terhadap Ramalan Astrologi
Banyak orang skeptis terhadap klaim astrologi, yang menyatakan bahwa posisi bintang dan planet dapat memengaruhi nasib seseorang. Seorang skeptis mungkin meragukan dasar ilmiah dari astrologi dan akan meminta bukti yang kuat sebelum mempercayai bahwa posisi planet pada saat kelahiran dapat menentukan kepribadian atau masa depan seseorang.
Kesimpulan
Skeptisisme adalah pendekatan kritis dan bijaksana terhadap klaim pengetahuan, yang menekankan pentingnya keraguan, penangguhan penilaian, dan pengujian bukti secara ketat. Dalam berbagai bentuknya—epistemologis, ilmiah, filosofis, dan agama—skeptisisme membantu kita untuk mempertanyakan asumsi yang diterima secara umum dan mendorong kita untuk mencari kebenaran yang lebih mendalam dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan skeptisisme, kita diajak untuk tidak menerima sesuatu begitu saja tanpa bukti yang cukup, baik itu dalam pengetahuan sehari-hari, klaim ilmiah, atau keyakinan metafisik. Hasil akhirnya adalah pendekatan yang lebih hati-hati dan rasional dalam memahami dunia di sekitar kita.