Sejarah Fasisme di Eropa Abad ke-20: Pengertian, Perkembangan, dan Contoh

Fasisme adalah sebuah ideologi politik yang berkembang di Eropa pada awal abad ke-20, dengan karakteristik utama berupa otoritarianisme, nasionalisme ekstrem, penolakan terhadap demokrasi liberal, serta adanya kultus terhadap pemimpin tunggal. Fasisme muncul sebagai reaksi terhadap ketidakstabilan ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi setelah Perang Dunia I, dan dengan cepat menjadi kekuatan politik yang sangat berpengaruh, terutama di Italia dan Jerman.

Dalam artikel ini, kita akan membahas asal-usul fasisme, perkembangan ideologi ini di beberapa negara Eropa, serta contoh-contoh spesifik yang menjelaskan bagaimana fasisme beroperasi dalam praktik.

Pengertian Fasisme

Secara umum, fasisme adalah ideologi politik yang mengutamakan otoritas negara di atas segala-galanya, dengan pemimpin diktator yang memiliki kekuasaan mutlak. Fasisme menentang demokrasi liberal, komunisme, dan pluralisme politik. Ciri khas lain dari fasisme adalah nasionalisme ekstrem, di mana negara dianggap sebagai entitas yang lebih penting daripada individu, dan pengorbanan pribadi demi kepentingan negara dianggap sebagai nilai tertinggi.

Karakteristik Utama Fasisme:

  1. Otoritarianisme: Fasisme mendukung kekuasaan absolut di bawah satu pemimpin tunggal yang tidak dapat dipertanyakan, sering kali dengan penggunaan militer dan polisi rahasia untuk menekan oposisi.
  2. Nasionalisme Ekstrem: Fasisme sering kali mempromosikan gagasan keunggulan bangsa atau ras tertentu dan menekankan perlunya ekspansi teritorial dan supremasi nasional.
  3. Anti-Demokrasi: Fasisme menolak demokrasi liberal, termasuk hak pilih universal, kebebasan politik individu, dan hak asasi manusia.
  4. Militerisme: Fasisme sering kali mengidealkan perang dan kekerasan sebagai cara untuk memperkuat negara dan memurnikan bangsa.
  5. Penggunaan Propaganda: Fasisme menggunakan propaganda secara masif untuk memobilisasi massa dan menciptakan kultus terhadap pemimpin.

Latar Belakang Munculnya Fasisme

Fasisme muncul di Eropa pada periode interwar (1918-1939) sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan sosial dan ekonomi yang meluas setelah Perang Dunia I. Perang tersebut menghancurkan ekonomi Eropa, menyebabkan inflasi, pengangguran massal, dan ketidakstabilan politik. Banyak masyarakat merasa kecewa dengan pemerintah demokratis yang dianggap tidak mampu mengatasi krisis, dan muncul keinginan untuk mendapatkan pemimpin kuat yang bisa memulihkan kestabilan dan kebanggaan nasional.

Selain itu, Revolusi Bolshevik di Rusia (1917) menciptakan ketakutan yang mendalam terhadap komunisme di kalangan kelas menengah dan atas di Eropa, yang membuat banyak orang mencari alternatif otoritarian yang bisa melawan ancaman komunisme.

Fasisme juga mendapat dukungan dari kelompok-kelompok yang merasa dirugikan oleh sistem ekonomi dan politik yang ada, termasuk veteran perang yang kecewa, kelas pekerja yang merasa dikhianati oleh partai-partai sosialis, serta pengusaha yang takut kehilangan kendali ekonomi akibat gerakan buruh.

Fasisme di Italia: Benito Mussolini dan Partai Fasis Nasional

Italia adalah negara pertama yang menerapkan fasisme sebagai sistem pemerintahan. Benito Mussolini adalah tokoh utama dalam perkembangan fasisme di Italia. Mussolini, yang awalnya seorang sosialis, mendirikan Partai Fasis Nasional (Partito Nazionale Fascista) pada tahun 1921. Ia kemudian memimpin Italia dengan ideologi fasis setelah “Mars di Roma” pada tahun 1922, sebuah aksi dramatis di mana ribuan pendukungnya berbaris menuju Roma untuk menuntut kekuasaan.

Kebijakan Fasis di Italia:

  1. Totalitarianisme: Setelah menjadi Perdana Menteri, Mussolini secara bertahap membongkar institusi demokrasi di Italia dan mengubah negara menjadi kediktatoran totalitarian. Semua partai politik selain Partai Fasis dilarang, kebebasan pers dibatasi, dan oposisi politik ditindas dengan kejam.
  2. Kultus Pemimpin: Mussolini menciptakan citra dirinya sebagai “Il Duce” (Sang Pemimpin) yang tak tergantikan, dan propaganda negara memujinya sebagai penyelamat bangsa Italia.
  3. Korporatisme: Mussolini memperkenalkan sistem ekonomi korporatis, di mana negara mengontrol hubungan antara buruh dan pengusaha melalui serikat pekerja yang diatur oleh negara. Ini dilakukan untuk mencegah konflik kelas, tetapi pada praktiknya, ini lebih menguntungkan pengusaha dan memperkuat kontrol negara.
  4. Ekspansionisme: Fasisme Italia mendorong kebijakan ekspansif, termasuk invasi ke Ethiopia pada tahun 1935, yang bertujuan untuk membangun kembali kejayaan Kekaisaran Romawi dan memperluas pengaruh Italia di Afrika.

Mussolini mewujudkan model fasisme yang menggabungkan otoritarianisme dengan nasionalisme agresif, dan dia sering dianggap sebagai pendiri fasisme modern. Namun, fasisme Italia, meskipun brutal, tidak sebrutal atau seberdarah-darah rezim fasis yang muncul di Jerman.

Fasisme di Jerman: Nazisme dan Adolf Hitler

Di Jerman, fasisme muncul dalam bentuk yang lebih ekstrem, yang dikenal sebagai Nazisme. Adolf Hitler dan Partai Nazi (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei, atau NSDAP) mengambil inspirasi dari Mussolini, tetapi mereka menambahkan unsur-unsur rasisme biologis, terutama antisemitisme yang sangat kuat, ke dalam ideologi mereka.

Kebangkitan Hitler dan Partai Nazi:

Jerman mengalami kekacauan politik dan ekonomi yang parah setelah Perang Dunia I, terutama setelah diberlakukannya Perjanjian Versailles (1919), yang menuntut Jerman membayar ganti rugi besar kepada Sekutu. Inflasi yang melambung tinggi dan pengangguran massal menciptakan ketidakstabilan yang membuat banyak orang mencari pemimpin karismatik yang bisa memulihkan kejayaan Jerman.

Hitler menggunakan retorika nasionalis dan rasis untuk menarik dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Jerman. Pada tahun 1933, ia diangkat menjadi Kanselir Jerman, dan melalui serangkaian langkah politik, ia mengubah Jerman menjadi kediktatoran di bawah kendali Partai Nazi.

Ciri-Ciri Nazisme:

  1. Rasisme dan Antisemitisme: Berbeda dengan fasisme Italia yang lebih menekankan nasionalisme, Nazisme menggabungkan ide-ide rasisme biologis, terutama terhadap Yahudi, yang Hitler anggap sebagai musuh utama bangsa Arya. Ideologi Nazi juga menganggap bahwa ras Arya adalah ras unggul yang berhak menguasai dunia, sementara ras lain dianggap lebih rendah.
  2. Ekspansionisme dan Lebensraum: Salah satu tujuan utama Hitler adalah menciptakan Lebensraum (“ruang hidup”) bagi bangsa Jerman. Ini berarti mengambil alih wilayah di Eropa Timur untuk dijadikan koloni Jerman dan melenyapkan penduduk asli yang dianggap lebih rendah, terutama Yahudi dan Slavia.
  3. Militerisme dan Perang: Nazisme mengidealkan perang dan kekerasan sebagai cara untuk memperluas kekuasaan Jerman dan membersihkan negara dari unsur-unsur yang dianggap tidak “murni”. Kebijakan ini memicu Perang Dunia II ketika Jerman menginvasi Polandia pada tahun 1939.
  4. Kultus Hitler: Seperti Mussolini, Hitler menciptakan kultus kepribadian di mana dirinya dipuja sebagai “Führer” (Pemimpin) yang tak tergantikan. Propaganda Nazi, yang dikendalikan oleh Joseph Goebbels, mempromosikan Hitler sebagai penyelamat Jerman yang akan membangun kembali kejayaan bangsa.

Holocaust: Puncak Kebrutalan Fasisme Jerman

Salah satu aspek paling mematikan dari fasisme Jerman adalah Holocaust, yaitu pembunuhan sistematis terhadap enam juta Yahudi Eropa, serta jutaan lainnya yang termasuk kelompok minoritas, seperti Rom, penyandang disabilitas, homoseksual, dan lawan politik. Holocaust adalah puncak dari ideologi rasis Nazi yang menganggap bahwa orang Yahudi adalah ancaman eksistensial bagi bangsa Jerman dan harus dimusnahkan.

Fasisme di Negara-Negara Lain

Selain Italia dan Jerman, fasisme juga mendapatkan dukungan di beberapa negara Eropa lainnya, meskipun tidak selalu mencapai tingkat kekuatan yang sama. Berikut adalah beberapa contoh di negara lain:

1. Spanyol: Francisco Franco

Di Spanyol, fasisme berakar pada Perang Saudara Spanyol (1936-1939), di mana Francisco Franco memimpin pasukan Nasionalis melawan pemerintahan Republik yang didukung oleh kaum sosialis dan komunis. Setelah menang, Franco mendirikan rezim otoriter yang memiliki banyak kesamaan dengan fasisme, meskipun ia tidak secara resmi mengadopsi ideologi fasis.

Rezim Franco ditandai oleh penggunaan kekerasan untuk menekan oposisi, pengendalian ketat terhadap media, dan penekanan pada nasionalisme Spanyol. Namun, Franco menahan diri untuk tidak bergabung dengan blok Fasis selama Perang Dunia II, meskipun ia bersimpati terhadap Hitler dan Mussolini.

2. Prancis: Vichy dan Philippe Pétain

Setelah kekalahan Prancis oleh Jerman pada tahun 1940, pemerintah Prancis yang dipimpin oleh Philippe Pétain mendirikan rezim otoriter yang dikenal sebagai Rezim Vichy. Meskipun Vichy Prancis bukan sepenuhnya fasis, rezim ini berkolaborasi dengan Nazi Jerman dan mengadopsi beberapa elemen fasisme, termasuk antisemitisme dan nasionalisme ekstrem.

Vichy Prancis juga bertanggung jawab atas deportasi ribuan Yahudi Prancis ke kamp-kamp konsentrasi Nazi, menunjukkan bahwa pengaruh fasisme tidak terbatas pada Jerman dan Italia saja.

Akhir dari Fasisme di Eropa

Fasisme di Eropa mencapai puncaknya selama Perang Dunia II, tetapi kekalahan Blok Fasis—Jerman, Italia, dan Jepang—oleh Sekutu pada tahun 1945 menandai akhir dari rezim fasis di Eropa. Mussolini dieksekusi oleh partisan Italia pada tahun 1945, sementara Hitler bunuh diri di bunker Berlin ketika pasukan Soviet mendekati ibu kota Jerman.

Setelah perang, fasisme dihukum keras secara internasional. Pengadilan Nuremberg mengadili para pemimpin Nazi atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan fasisme menjadi ideologi yang sangat terstigma di seluruh dunia.

Warisan dan Kebangkitan Kembali Fasisme

Meskipun fasisme secara resmi berakhir setelah Perang Dunia II, ide-ide fasis tidak sepenuhnya menghilang dari politik Eropa. Beberapa gerakan neo-fasis muncul kembali pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, terutama di tengah krisis ekonomi, ketakutan terhadap imigrasi, dan ketidakpuasan terhadap globalisasi.

Gerakan-gerakan ini, seperti Front Nasional di Prancis atau Golden Dawn di Yunani, sering kali mengadopsi retorika nasionalis ekstrem dan penolakan terhadap pluralisme politik, meskipun mereka tidak selalu secara eksplisit mengidentifikasi diri sebagai fasis.

Kesimpulan

Fasisme adalah salah satu ideologi politik yang paling berpengaruh dan merusak di abad ke-20, dengan dampak yang sangat besar terhadap sejarah Eropa. Dari Italia di bawah Mussolini hingga Jerman di bawah Hitler, fasisme membawa kehancuran, perang, dan genosida. Meskipun fasisme secara resmi berakhir setelah Perang Dunia II, jejak ideologinya masih dapat dilihat dalam beberapa gerakan politik modern, memperingatkan kita tentang bahaya nasionalisme ekstrem, otoritarianisme, dan intoleransi.

  • Fasisme: Ideologi Ekstrem yang Mengubah Sejarah Dunia