Shintoisme adalah salah satu agama asli Jepang yang sudah ada sejak zaman kuno. Beda dari kebanyakan agama lainnya, Shintoisme ini lebih mirip kayak cara hidup atau kumpulan tradisi spiritual yang fokus pada hubungan antara manusia dengan alam dan roh-roh leluhur. Secara harfiah, kata “Shinto” berasal dari bahasa Jepang kuno, yang artinya “Jalan para Dewa” (Kami no Michi). Di sini, “Kami” bukan cuma dewa-dewa besar seperti yang kita kenal, tapi bisa juga roh alam, leluhur, atau bahkan kekuatan spiritual yang ada di sekitar kita.
Uniknya, Shintoisme gak punya kitab suci resmi kayak Alkitab di Kristen atau Al-Quran di Islam. Shinto lebih mengutamakan ritual, tradisi, dan koneksi dengan alam daripada aturan-aturan tertulis atau doktrin yang ketat. Makanya, Shintoisme fleksibel banget dan bisa dicampur dengan keyakinan lain, terutama Buddhisme, yang juga sangat populer di Jepang.
Sejarah Singkat Shintoisme
Shintoisme sudah ada sejak ribuan tahun lalu, jauh sebelum agama-agama seperti Buddhisme masuk ke Jepang. Awalnya, Shintoisme berkembang dari kepercayaan animisme, di mana orang-orang Jepang kuno percaya bahwa setiap benda di alam punya roh atau “kami”. Gunung, sungai, pohon, bahkan batu pun dianggap punya kekuatan spiritual.
Ketika Buddhisme masuk ke Jepang sekitar abad ke-6, Shintoisme gak langsung ditinggalkan. Sebaliknya, kedua keyakinan ini hidup berdampingan. Bahkan, banyak orang Jepang yang menjalankan kedua agama sekaligus: mereka bisa pergi ke kuil Shinto untuk upacara pernikahan atau kelahiran, dan ke kuil Buddha untuk upacara kematian.
Pada periode Meiji (abad ke-19), Shintoisme sempat dijadikan agama negara oleh pemerintah Jepang, dan dipakai untuk memperkuat rasa nasionalisme. Tapi setelah Perang Dunia II, status Shintoisme sebagai agama negara dihapus, dan sejak itu, Shintoisme kembali ke akar tradisionalnya sebagai agama rakyat.
Apa Itu “Kami”?
Salah satu konsep paling penting dalam Shintoisme adalah Kami. Nah, “Kami” ini bukan cuma berarti “dewa” seperti yang biasa kita bayangkan. Kami bisa meliputi banyak hal:
- Roh Alam: Shintoisme percaya bahwa alam punya kekuatan spiritual yang sangat kuat. Gunung-gunung besar seperti Gunung Fuji, pohon-pohon yang berusia ratusan tahun, atau air terjun yang megah dipercaya memiliki Kami yang tinggal di dalamnya.
- Leluhur: Orang Jepang juga percaya bahwa roh leluhur mereka bisa menjadi Kami. Jadi, banyak keluarga di Jepang yang menghormati leluhur mereka dengan ritual dan persembahan, karena mereka yakin bahwa leluhur mereka bisa memberikan perlindungan dan berkah.
- Dewa-Dewa Besar: Ada juga Kami yang dianggap sangat penting, seperti Amaterasu, dewi matahari yang juga dianggap sebagai nenek moyang Kaisar Jepang. Amaterasu adalah salah satu Kami yang paling dihormati di seluruh Jepang.
Prinsip-Prinsip Utama Shintoisme
Shintoisme gak punya aturan moral yang ketat seperti beberapa agama lain. Tapi, ada beberapa prinsip dasar yang dipegang oleh para penganutnya:
- Kemurnian (Harai): Dalam Shintoisme, menjaga kemurnian sangat penting. Orang Jepang percaya bahwa manusia bisa ternoda oleh “kegelisahan” atau “ketidakmurnian” yang ada di dunia, entah itu dari dosa, kejadian buruk, atau energi negatif. Makanya, banyak ritual Shinto yang fokus pada pembersihan, baik secara fisik maupun spiritual. Misalnya, sebelum masuk ke kuil Shinto, biasanya orang-orang membasuh tangan dan mulut sebagai simbol pembersihan diri.
- Hormat kepada Alam: Karena alam dianggap sebagai tempat tinggal Kami, orang-orang Shinto sangat menghormati alam. Mereka percaya bahwa menjaga lingkungan dan hidup selaras dengan alam adalah cara untuk menghormati Kami.
- Persembahan dan Ritual: Ritual dan persembahan adalah bagian utama dari Shintoisme. Di kuil-kuil Shinto, orang sering memberikan persembahan seperti makanan, minuman, atau benda-benda lain kepada Kami untuk meminta perlindungan atau berkah.
- Harmoni (Wa): Shintoisme sangat menekankan pentingnya menjaga harmoni, baik itu dengan sesama manusia, alam, atau Kami. Konsep harmoni ini juga terlihat dalam budaya Jepang secara umum, di mana mereka sangat menghargai kedamaian dan kerukunan dalam kehidupan sehari-hari.
Kuil Shinto (Jinja)
Jinja atau kuil Shinto adalah tempat utama di mana orang-orang Shinto melakukan ibadah dan ritual. Kuil ini biasanya dibangun di tempat-tempat yang dianggap sakral, seperti di dekat gunung, hutan, atau sumber air. Salah satu ciri khas kuil Shinto adalah gerbang yang disebut Torii, yaitu gerbang merah besar yang menandai batas antara dunia manusia dan dunia Kami. Setiap kali melewati Torii, orang-orang akan membungkuk sebagai tanda penghormatan.
Di dalam kuil, biasanya ada altar tempat orang mempersembahkan makanan, sake, bunga, atau benda-benda lain untuk Kami. Orang-orang juga bisa berdoa, menggantungkan harapan mereka pada kertas-kertas kecil yang disebut Ema, atau memohon keberuntungan dengan menggoyangkan lonceng yang ada di kuil.
Shintoisme dalam Kehidupan Sehari-hari
Meski Shintoisme mungkin terdengar kuno, nyatanya banyak tradisi Shinto yang masih sangat hidup di Jepang modern. Misalnya:
- Festival Shinto (Matsuri): Di Jepang, ada banyak festival Shinto yang dirayakan sepanjang tahun, biasanya untuk menghormati Kami atau merayakan musim tertentu. Festival ini sering melibatkan tarian, musik, makanan, dan parade yang meriah.
- Perayaan Tahun Baru (Hatsumode): Salah satu tradisi Shinto yang paling populer adalah Hatsumode, yaitu kunjungan pertama ke kuil Shinto di awal tahun baru. Di sini, orang-orang berdoa untuk keberuntungan dan kesehatan di tahun yang akan datang.
- Ritual Kelahiran dan Pernikahan: Banyak orang Jepang yang masih melakukan ritual Shinto saat anak mereka lahir atau ketika mereka menikah. Ritual-ritual ini dianggap sebagai cara untuk mendapatkan berkah dari Kami.
- Omamori (Jimat Keberuntungan): Banyak kuil Shinto yang menjual Omamori, jimat keberuntungan yang dipercaya bisa memberikan perlindungan atau keberuntungan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kesehatan, pendidikan, atau karier.
Shintoisme dan Kehidupan Modern
Meskipun Shintoisme tidak selalu diakui sebagai agama formal oleh beberapa orang Jepang modern, filosofi dan tradisi Shinto tetap mempengaruhi banyak aspek kehidupan sehari-hari di Jepang. Nilai-nilai seperti menjaga hubungan harmonis dengan alam, menghormati leluhur, dan fokus pada kemurnian serta keseimbangan masih sangat relevan.
Shintoisme juga punya pengaruh besar dalam seni, arsitektur, dan budaya Jepang. Banyak festival budaya, seni tradisional seperti ikebana (merangkai bunga), dan bahkan seni bela diri seperti kendo dan sumo yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Shinto.
Penutup
Shintoisme bukan cuma soal agama, tapi lebih ke cara hidup dan cara memahami dunia. Dengan menghormati alam, leluhur, dan kekuatan-kekuatan spiritual di sekitar kita, Shintoisme mengajarkan kita untuk hidup selaras dengan alam dan menjaga keseimbangan dalam segala hal. Meski mungkin terdengar sederhana, nilai-nilai ini tetap relevan di dunia modern yang sering kali terasa kacau.
Jadi, kalau kamu berkunjung ke Jepang dan melihat kuil-kuil Shinto atau festival-festival tradisional, jangan lupa bahwa di balik semua itu ada filosofi mendalam tentang hubungan antara manusia, alam, dan spiritualitas yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu.